Discourse
KolaseKegiatanTentang Kami
  • Beranda
  • Refleksi
  • Kajian Tokoh
  • Pranala
  • Ulasan
  • Terjemahan
  • Warta
  • Kolase
  • Kegiatan
  • Tentang Kami
DISCOURSE
ArtikelKontakKontribusi EsaiTokoDonasiVideoSyarat dan KetentuanKebijakan Privasi
© 2017-2025 LSF Discourse
Refleksi

Elias Canetti, Manusia Tidak Bisa Beranjak dari Kodrat Hewaninya

0

Manusia tidak akan pernah keluar dari ruang-ruang massa atau kerumunan.

Ahmad Dahri

Diterbitkan pada Rabu, 17 Juni 2020
Topik
Covid-19Elias CanettiFilsafat ManusiaPandemi
Semua topik
Bagikan artikel ini

Bantu kami untuk terus bertahan

Donasi

Pada dasarnya manusia memiliki ruh al hayawān, Elias Canetti menegaskan bahwa manusia, secara fitrahnya memiliki kodrat hewani. Alasan ini lah yang menyebabkan manusia keluar dari aspek politik, ekonomi, budaya, dan agama lalu keluar dan berkumpul menjadi massa.

Bentuk terrendah dari penyelamatan diri adalah dengan berkumpul. Bagi Elias Canetti, ini merupakan insting alamiah. Pergumulan itu bisa berdampak positif pun sebaliknya. Objeknya bermacam-macam. Tergantung visi yang diusung-kembangkan.

Kebijakan bisa menjadi bulan-bulanan massa, ketika tidak sesuai dalam praktiknya. Ketika filsafat tradisional berbicara tentang kebersamaan, Elias Canetti melihat bahwa kebersamaan itulah yang menjadi dasar manusia menciptakan massa. Massa juga dipicu atas kekuasaan tertentu. Indonesia sudah beberapa kali terjadi massa yang besar dan menyisakan korban.

Alasan utamanya adalah di samping memiliki ruh al hayawān, manusia juga memiliki titik jenuh. Hal inilah yang menjadi alasan terkuat sehingga massa menjadi beringas dan buas. Perilaku hewan yang digambarkan dalam bukunya Crowds and Power (1960) adalah perilaku manusia itu sendiri.

Elias ingin menampilkan apa yang ada di dalam diri manusia yang paling dalam: insting alamiah kehewanan. Budi Hardiman menggambarkan bahwa apa yang ditulis oleh Elias adalah gambaran tentang kondisi manusia dalam ruang totaliter. Kaum konspirasi menguatkan “rezim”.

Latar belakang Elias di masa Nazi menjadi pemicu olah pikir dan olah rasa yang ada di dalam dirinya. Crowds and Power adalah bentuk pemikiran yang lumrah ketika menyaksikan manusia keluar dari aspek kemanusiaannya. Aspek moralitasnya, di satu sisi bergantung kepada manusia lain, dan di sisi lain berdiri sendiri bertahan atau berjuang.

Keinginan selalu berjalan mendahului pemikiran. Sehingga wajar ketika manusia dipenuhi atau kehilangan sesuatu yang dianggap normal, maka hal yang paling bisa dilakukan adalah berontak untuk memenuhi bahkan mengejar keinginan yang baru. Hal ini memiliki relevansi dengan apa yang ada dalam ajaran keberagamaan: manusia memiliki nafsu yang beragam.

Kita tidak mampu mengukur seberapa besar keinginan seseorang. Di samping beragam pun memiliki kecenderungan-kecenderungan. Kecuali masalah kebutuhan pokok: makan, minum, dll. Tetapi itu pun terbentur dengan selera. Sehingga gambaran akan sifat manusia dalam Crowds and Power berusaha menampakkan kecenderungan manusia tersebut.

Jika manusia sudah mencapai peradaban dan pengetahuan yang luhur, namun masih saja – secara sosiologis – melakukan kekerasan terhadap manusia yang lain, maka jawaban Elias telah jelas, bahwa manusia belum beranjak dari kodrat hewaninya. Asumsi ini lahir ketika abad ke 20 dalam perang dunia ke dua Rezim Nazi Jerman menjadi penguasa totaliter.

Dampak yang terjadi adalah kekerasan, pembantaian massal, dan lain sebagainya. Tentu hal ini di luar kemanusiaannya. Di luar konteks moral sosialnya. Dalam hal ini Elias keluar dari hipotesis bahwa manusia dapat dijaga oleh pengetahuan filsafat tradisional dan teologi: keimanan.

Gerak destruktif Elias terhadap filsafat tradisional berakar pada keheranan akan kemajuan filsafat manusia, sains, dan teknologi, tetapi sebagian besar manusia belum – bahkan tidak mampu menjinakkan naluri kehewanannya. Oleh karenanya filsafat zoologi ingin mengupas secara mendalam tentang perilaku dan tuntuan atas keinginan manusia.

Jika kerusuhan di Amerika dan negara-negara yang lain, khususnya di Indonesia sudah mulai bergerak: kaum buruh, ojol, dan lain sebagainya. Maka ada titik jenuh yang dirasakan oleh setiap orang terhadap satu kondisi atau satu kebijakan bahkan kerisauan-kerisauan yang terbangun baik secara sengaja atau pun tidak.

Konsep “suara hati” dalam agama-agama Abraham dianggap sebagai suara Tuhan. Dengan asumsi itu manusia adalah makhluk transenden. Tetapi berbeda dengan Elias, ia melihat suara hati sebagai bentuk kesadaran “sengatan” untuk memutuskan sesuatu. Dengan kata lain manusia memiliki hak atas dirinya sendiri sampai pada batas tertentu.

Perkembangan ilmu pengetahuan tidak lari dari konsep kesadaran dan pencarian. Secara gamblang dikatakan oleh George Mabel Sarton, bahwa sains adalah pola pikir yang terus berkembang kemudian memengaruhi siklus kehidupan manusia. Dengan kata lain setiap hal memiliki dampak atas sesuatu. Hal inilah yang disinggung oleh Elias dengan pertanyaan, mengapa manusia cenderung untuk melakukan pemenuhan-pemenuhan atas keinginannya ketimbang menjaga stabilitas personalnya?

Dalam hal ini Elias memandang manusia sebagai makhluk yang tidak akan pernah lepas dari kerumunan atau massa. Disadari atau tidak perkumpulan orang-orang kudus, para nabi juga terbentuk atas kerumunan-kerumunan. Tetapi tak terlihat oleh mata. Begitu juga manusia, secara tidak langsung lahir dari kerumunan sperma, tergantung sel yang
paling kuatlah yang mampu menembus sel telur.

Hal ini tentu sebagai kodrat, gerak tumbuh-kembang alami manusia. Jika manusia saat ini menemui kejenuhan atas kondisi terdampak wabah tentu manusia memiliki gagasan lain akan cara bertahan hidup. Karena secara hukum masyarakat berada dalam sistem sebuah pemerintah, maka wajar jika mengeluh kepada pemerintah. Walaupun dengan bentuk kerumunan atau massa.

Karena pada dasaranya ada pola ketergantungan yang sangat kuat, sehingga menurut Elias, manusia tidak akan pernah keluar dari ruang-ruang massa atau kerumunan. Jika pun kerumunan itu berdampak kerusuhan dan pemberontakan di mana-mana. Asumsi tentang kondrat manusia inilah yang menjadi dasar pemikirannya, dan melihat realitas dengan sebentuk kewajaran. Walaupun di sisi lain berusaha untuk mematahkan pengetahuan tertentu.

Bagikan artikel ini
Diterbitkan pada Rabu, 17 Juni 2020
Topik
Covid-19Elias CanettiFilsafat ManusiaPandemi
Semua topik

Diskusi

Loading...
Bantu kami melaluidonasi di SociaBuzz
Artikel Terkait
Refleksi
Quo Vadis Domine?
Silvester Yansen Perera0

Ketika kemanusiaan dijunjung tinggi, ketika keadilan mendapatkan tempatnya, ketika perbedaan justru mempersatukan kita, di sanalah Tuhan berada.

Refleksi
Represi Pasca Pandemi menurut Yuval Noah Harari dan Herbert Marcuse
Krisna Pradipta0

Sama halnya dengan Marcuse, Harari melihat permasalahan pasca pandemi akan mengarah pada otoritarianisme serta kapitalisme industri.

Ulasan
Keniscayaan “Adaptasi Kebiasaan Baru” Pasca Pandemi
Dimas Adiatama0

Secara sederhana maksud dari “Adaptasi Kebiasaan Baru” yang dinarasikan pemerintah adalah terbentuknya pola hidup masyarakat yang baru.

Refleksi
Dunia di Tengah Pandemi
Edy Soge0

Kematian terasa begitu akrab sekali. Ia datang tanpa diundang dan dengan secepat kilat merengkut pulang nyawa orang hidup.

Giorgio Agamben
Kajian Tokoh
Homo Sacer: Figur Politis di Era Pandemi Covid-19
Innoccentius Gerardo Mayolla0

Kompleksitas penanganan pandemi seharusnya tetap mendahulukan keselamatan masyarakat.

Refleksi
Rekayasa Sosial dan Pandemi
Fakhri Benindo0

Tidak aja jalan lain demi mengatasi pandemi selain rekayasa sosial.