Nietzsche sebagaimana yang kita tahu adalah filsuf besar Jerman pada abad ke-19 yang telah mempengaruhi pemikir-pemikir besar misalnya Albert Camus, Jean Paul Sartre, Emil Cioran, Michel Foucault, Martin Heidegger, hingga Jacques Derrida. Selain itu dia dikenal sebagai filsuf yang kontroversial karena kritiknya terhadap moral agama dan ramalannya akan zaman ini yang dia sebut sebagai dekaden (kemerosotan). Ide ini sering dituliskan dalam bukunya berjudul The Gay Science dan The Twilight of Idols. Di dalamnya terdapat banyak aforisme misalnya “Tuhan telah mati” yang ia ceritakan melalui kisah orang gila, kisah yang telah ditafsirkan jutaan orang dari zamannya hingga zaman sekarang.
Nietzsche berpendapat, jika manusia terus-terus saja menjadi “budak” bagi dirinya, maka kita akan melahirkan banyak sekali kegelisahan yang berkepanjangan. Masalah ini misalnya adalah krisis identitas atau krisis eksistensi yang lalu ia sebut itu sebagai “kemerosotan”. Selain karena ramalan-ramalannya yang sekarang ini bisa dianggap relevan, Nietzsche juga dikenal sebagai salah seorang pemikir yang menyebut bahwa kebenaran sejati tidaklah ada, karena kebenaran sejati merupakan perspektif seseorang mengenai fenomena yang belum terdefinisikan dengan jelas, hal yang membuat seseorang meng-iyakan saja apa yang belum terdefinisikan itu dan tidak mau mempertanyakannya karena takut akan konsekuensi-konsekuensi yang akan menimpa.
Nietzsche adalah anak pemikiran dari Darwin (1809) dan saudara pemikiran Bismarck (1815), demikian, jika harus menggarisbawahi secara ringkas dan singkat. Nietzsche lahir pada tahun 1844 di Rocken Lutzhen Jerman pada tanggal 14 November. Kedua orang tuanya sama-sama berprofesi sebagai pendeta Lutheran yang taat. Sejak kecil Nietzsche dididik di lingkungan ajaran gereja supaya kelak dirinya bisa menjadi penerus ayahnya (Carl Ludwig Nietzsche). Kecerdasan intelektual Nietzsche sebenarnya sudah nampak dari sejak dirinya masih kecil. Kala itu hujan Nietzsche kecil sedang menuju rumahnya dan saat dirinya kembali ke rumah ia dimarahi oleh ibunya namun dia menjawab “Namun di sekolah tidak boleh pulang terlambat”. Nampak di situ dirinya seperti terpaku terhadap moral aturan sekolah dan menurut kesaksian adiknya (Elizabeth) Nietzsche kecil waktu itu banyak melamun selama seminggu akibat aturan tersebut.
Dari hal kecil, setelah dirinya remaja dia banyak sekali menghabiskan masa-masa mudanya dalam perpustakaan dan terkadang diselingi oleh kegiatan olahraga katakanlah renang, selancar, dan lari, tak ayal jika masa mudanya badannya sangat gagah dan besar sebelum dirinya terjangkiti sifilis yang menyebabkan keruntuhan fisik dan mental yang ekstrem. Saat menyentuh usia puber, ia berpindah kuliah dari teologi ke filologi. Karena ketekunannya pada kehidupan dan kebudayaan Yunani dirinya lalu memfokuskan pada filologi, menurutnya bidang itulah nanti yang akan membawanya pada keberhasilan. Namun di lain sisi, di bidang itulah hidupnya akan banyak menderita dan ia menjadi seseorang yang keras serta penuh skeptisisme.
Pada usianya ke-24 Nietzsche diangkat menjadi profesor tanpa perantara gelar doktor, karena pada saat itu dirinya sangat jenius di bidang filologi, ia diangkat menjadi dosen di Universitas Basel Jerman. Menurut pendapat mahasiswanya, ia dikenal sebagai dosen yang begitu menarik dan unik saat membimbing, sehingga pertemanannya dengan Wagner diingat oleh mahasiswa-mahasiswanya.
Pemikiran Nietzsche sangatlah radikal terhadap pertemanan, universitas, komunitas akademik, perpustakaan, dan teologi. Hal yang membuatnya menjadi pemikir orisinil sekaligus pengkritik tajam melalui aforismenya. Fondasi dasar pemikiran Nietzsche adalah kehendak untuk berkuasa (The Will to Power), moral, dan nihilisme. Secara praktis Nietzsche ingin melampaui tokoh-tokoh sebelum zamannya misalnya Schopenhauer, dimana Schopenhauer menyatakan jika satu-satunya realitas dunia adalah sebuah penderitaan yang disebut sebagai aliran pesimisme.
Pesimisme Schopenhauer sangatlah kompleks tidak seperti definisi-definisi pesimisme modern sekarang yang sepertinya sangatlah sederhana; dalam pesimisme Schopenhauer manusia dan seluruh alam jagad raya ini memiliki sebuah kehendak yang mengatur mereka dan mengontrol pikiran mereka. Kehendak dalam Schopenhauer sangatlah kejam, ia menciptakan keinginan-keinginan dan ketika keinginan itu terpenuhi, subjek akan merasa bosan dan kehendak akan memunculkan keinginan yang baru lagi. Ketika keinginan tadi tidak terpenuhi, subjek akan merasa menderita dan kecewa. Demikianlah yang tertulis di buku Schopenhauer berjudul The Will and World as Representation.
Namun bagi Nietzsche kehendak menjadi lebih optimis ketimbang Schopenhauer. Nietzsche berpendapat dalam The Birth Tragedy bahwakehendak yang Schopenhauer katakan itu adalah ,tak lebih dari hasrat untuk menegaskan dan mendominasi. Dengan kata lain kehendak menurut Nietzsche berupa insting dan naluri.
Nietzsche selanjutnya merumuskan kehendak menjadi kehendak berkuasa atau Will To Power. Kehendak berkuasa Nietzsche bukan berarti kehendak harus untuk menundukkan seseorang atau menguasai seseorang. Nietzsche sendiri sangat membenci manusia pengikut atau dalam kata lain manusia bermoral budak yang selalu membutuhkan sandaran, contoh yang paling bisa kita ambil dari kehendak berkuasa adalah orang yang menghasut orang lain untuk membenci ataupun memuji orang lain.
Inilah yang Nietzsche sebut sebagai kehendak berkuasa, orang yang pendendam dan sangat takut akan chaos. Chaos artinya adalah kekacauan. Namun Nietzsche memiliki perspektif lain mengenai kekacauan menurutnya kekacauan adalah hakikat dari kehidupan. Ia secara tidak langsung memiliki kesamaan dengan filsuf Yunani kuno yang bernama Heraclitus yang berpendapat jika apa yang dilakukan alam maupun manusia selalu berubah sepanjang waktu tanpa dia sadari dan itu merupakan suatu Logos. Namun di satu sisi Will To Power Nietzsche juga sangatlah pro akan kaum aristokrat, Nietzsche mengatakan jika segala hal yang ada di dunia ini setiap individu harus mampu menegaskan, dan mampu berjuang untuk hidup secara oriental tanpa harus membenci, pendendam, dan berani berkata “ya” dan “tidak”.
Kebenaran Massa
Manusia di zaman sekarang mereka seperti apa yang selalu dikatakan oleh Nietzsche sebagai manusia yang lemah, sangat membutuhkan sandaran dan keyakinan. Manusia saat ini, jika kita telisik, tidak ada bedanya dengan pemandangan kota oran yang ditampilkan oleh Albert Camus lewat novelnya berjudul Sampar atau La peste “untuk memahami kota sangat lah mudah dengan melihat mereka bercinta, lalu makan, dan saling membunuh”. Kita para manusia sekarang, dan para intelektual sekarang, lebih senang mengikuti apa perkataan mereka yang memiliki posisi yang lebih besar (misalnya secara status sosial). Tidak ada saling mencurigai satu sama lain kecuali mereka telah mendapatkan sesuatu yang bersifat kontra maka baru mereka akan mencurigai.
Kita membutuhkan penghentakan atau hal yang bersifat memukul, kita butuh yang namanya gairah, padahal gairah itu sendiri sudah ada dalam diri kita. Kita butuh api untuk menyalakan minyak dalam diri mereka padahal api itu sendiri sudah ada dalam diri kita. Lalu apa bedanya manusia saat ini dengan para binatang? Itulah yang terlihat dalam demonstrasi politik dan mereka yang rela mati demi sebuah “isme-isme” yang kini dianut. Dalam hal ini terlihat jelas jika manusia sekarang mereka terlihat hidup padahal sebenarnya mereka mati, karena mereka hidup dengan cara menghamba dan memuja layaknya para kaum-kaum penyembah berhala. Contoh yang paling sederhana adalah soal “tren” di mana kita tahu caranya membuat hal yang unik namun kita lebih memilih untuk melihat dan meniru. Lalu jika begitu, bukankah manusia sekarang lebih lemah dan lebih merosot daripada manusia-manusia sebelum zaman teknologi seperti sekarang ini?
Saya mungkin setuju dengan proyek neurolink milik Elon Musk namun bagaimana jadinya jika neurolink tersebut hanyalah suatu gimmick belaka? Apa jadinya jika alat itu ternyata adalah suatu senjata yang mampu mengontrol pikiran-pikiran manusia laiknya zombie? Inilah kondisi manusia saat ini penuh dengan rasa menghamba dan memuja padahal apa yang mereka agung-agungkan belum tentu itu adalah suatu kebenaran yang pasti. Jika kita tarik pemikiran Heraclitus, kita bisa bayangkan jika manusia saat ini mereka tidak berani menjadi yang orisinil yang oriental yang berani berubah.
Inilah yang penulis sebut sebagai kebenaran massa terhadap post-truth. Apa yang mampu membuat massa menganggap bernilai maka itu adalah yang benar padahal belum tentu jika itu adalah kebenaran, namun naasnya, para filsuf-filsuf kondang di zaman sekarang juga mereka tidak mampu membuat pemikiran mereka yang orisinil. Mereka terus menerus terkungkung dalam sejarah dan buku-buku yang begitu tebal, hal ini jugalah yang menghambat adanya semangat-semangat untuk memunculkan para Intelektualis zaman saat ini karena menganggap ilmu saat ini telah begitu final.
Daftar Pustaka
Friedrich Nietzsche, 2018, “The Gay Science”, Yogyakarta; Antinomi
A, Setyo Wibowo, 2004, “Gaya Filsafat Nietzsche”, Jakarta; Kanisius
Mohammad Hatta, 1980, “Alam Pemikiran Yunani”, Jakarta; Tintamas
Rachael Levi, Elon Musk’s Neuralink wins FDA approval for human study of brain implants, 25 mei 2023, (https://www.reuters.com/science/elon-musks-neuralink-gets-us-fda-approval-human-clinical-study-brain-implants-2023-05-25/)