Sangat miris, nama anak tukang kayu itu dijual oleh mereka yang mengaku sebagai hamba pemilik semesta itu sendiri. Darah yang tertumpah di atas batang kayu 2000 tahun silam, kini diubah menjadi pundi-pundi uang elektronik (QRIS) oleh institusi suci yang mengaku sebagai perwakilan-Nya di dunia.
Hari minggu adalah hari di mana para prajurit ilahi berdiri di depan pintu, menyambut setiap domba yang datang. Kepulan asap yang ditembak lampu sorot menyelimuti panggung seraya memberi tanda akan dimulainya ritus-ritus munafik pemanggil harta. Dibungkus rasa bangga, semua juru nada memasuki takhta mereka, menjadi pusat perhatian ritus dengan pose membusungkan dada sambil melirik-lirik domba betina. Dengan hingar bingar lampu disko, mereka berdansa, seakan jiwanya terpuaskan, dan memperoleh kelegaan. Pada kesempatan lain, domba-domba kecil pun maju ke atas panggung dalam rangka memateraikannya sebagai aset yang akan diserahkan pada institusi surga. Bahasa-bahasa yang sepertinya berasal dari “planet mars” mulai menggetarkan lidah dan bibir setiap domba itu setelah melakukan upacara minum “amer”. Dinginnya ruang berganti dengan kelembaban, dipenuhi air mata domba-domba yang terhanyut dalam irama syahdu, alunan musik yang menyayat hati, lengkap dengan atmosfer yang terbangun oleh gelapnya ruang.
Momen yang dinanti para investor bisnis surga pun tiba, domba-domba diminta untuk memindai QR di depan kursinya, mengisi sejumlah nominal, dan mengangkat ponsel mereka sembari kumat-kamit mengucapkan frasa sakti. Simsalabim, nama anak tukang kayu itu sukses terjual, proyek waralaba surga pun terus dilimpahi berkat, kekayaan, dan sukses.
Kejadian ini mengingatkanku pada Osho yang dalam kutipannya berbunyi demikian:
“To me, there is no God other than life itself, and there is no temple other than existence itself. Then everything becomes a divine celebration.”
Kutipan Osho ini membawa penulis pada makna teologis dari terbelahnya tirai bait suci sebagai implikasi karya pengorbanan-Nya di atas kayu tua itu, ia tidak lagi berdiam dalam bait-bait suci buatan manusia (Kisah Para Rasul 17). Dengan demikian, tak ada lagi jarak antara hamba dan tuan. Institusi yang jangan-jangan adalah “anti-kristus” itu sendiri, yang mendirikan jarak, telah hancur, terbelah dua, seperti dalam injil Matius 27. Bagaikan dosa lama yang telah ditenggelamkan sedalam tubir laut dan lahir kembali sebagai insan baru seputih bulu domba. Insan yang merdeka, merayakan kehidupan sebagai selebrasi ilahi, bukan liturgi jemu di dalam gedung-gedung megah. Menaruh pandang kehidupan sebagai liturgi yang hidup, yang berlangsung selama 24 jam sepanjang nafas berhembus.
Dalam kesadaran imanen yang juga transendental, membuang harapan dan keinginan akan surga yang konon berlantai emas, oleh karena telah menyaksikan bahwa kerajaan surga sudah hadir di sini dan sekarang ini. Momen surgawi yang sedang berlangsung secara sekaligus saat kamu membaca tulisanku ini, sebagaimana tersirat dalam doa bapa kami yang diajarkan anak tukang kayu itu.
Melalui makna teologis dari kematian-Nya di atas kayu yang bersimbah darah, Ia membebaskan setiap insan dari ritus-ritus yang kaku dan alot, doa yang seperti membaca resep obat dari dokter dengan berbagai proseduralnya. Ia meleburkan doa dalam kehidupan nyata dan menjadi rhema, doa itu bernama “kesadaran”. Ia hadir dalam dimensi keseharian, melampaui batas ruang dan waktu (omnipotent dan omnipresence). Ia hadir melalui orang-orang kelaparan di kolong jembatan, Ia hadir dalam tubuh pelacur yang dihakimi kelompok-kelompok institusi surga, Ia hadir dalam setiap tekanan para kaum transgender yang selalu direpresi, Ia hadir dalam diri anak sekolah yang hamil di luar nikah, bahkan Ia juga hadir di balik jeruji penjara narapidana pembunuh dan perampok kejam. Ia tidak tinggal dalam institusi surga, justru ia hadir bagi siapapun yang merayakan hidup dalam kesadaran.
Seperti yang dikatakan Charles Spurgeon “Smoke a cigar to the glory of God”. Melalui dialog subuh dengan Helmy di pos satpam, seorang teman yang juga dosen di Sekolah Tinggi Desain Indonesia. Momen ‘saat teduh’ hadir melalui rokok kretek yang kami hisap. Semakin di hisap, semakin tergambarkan kehadirannya. Kretek sebagai objek terkriminalisasi oleh institusi suci, justru menjadi sarana perenung bagi anak tukang kayu tersebut. Jika dilihat dari kacamata filosofis, laku hidup sederhana-Nya tercermin dalam berbagai aksi di jalanan. Ia menyembuhkan orang buta, bersahabat dengan pemungut cukai, penjahat, dan menerima orang Samaria yang berzinah dengan cinta kasih untuk memberi teladan bagi setiap insan yang terbebas dari konsep-konsep agama dan institusi suci itu. Teladan hidup-Nya terlalu sempit jika harus dipenjara dengan agama, pun institusi. Bahkan, dalam injil Matius 7, Ia menolak dan mengatakan bahwa Ia tidak mengenal orang-orang yang berseru-seru dan bernubuat atas nama-Nya. “… Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!”. Mungkinkah institusi suci itu termasuk di antaranya?
Berawal dari dialog subuh dengan Helmy, akhirnya penulis merefleksikan kembali makna di balik karya salib-Nya dan tirai bait suci yang terbelah. Kisah terbelahnya tirai Bait Suci saat Isa Al Masih meninggal di kayu salib merupakan karya yang membebaskan, memerdekakan dari segala bentuk kemelekatan terhadap konsep, dogma, dan institusi. Kisah tersobeknya tirai Bait Allah menyingkap kesadaran, bahwa diri kitalah bait suci itu sendiri, bukan gedung atau juga institusi. Bukankah upaya membangun gedung institusi suci di zaman ini sama artinya dengan menolak karya-Nya yang sudah dengan lelah dibayar di atas kayu itu, menarik kembali manusia ke dalam kerangkeng, lalu merenovasi bait suci yang sudah terbelah tadi? Atau jangan-jangan, perwujudan “anti-kritus” di zaman ini adalah institusi suci itu sendiri?