Discourse
KolaseKegiatanTentang Kami
  • Beranda
  • Refleksi
  • Kajian Tokoh
  • Pranala
  • Ulasan
  • Terjemahan
  • Warta
  • Kolase
  • Kegiatan
  • Tentang Kami
DISCOURSE
ArtikelKontakKontribusi EsaiTokoDonasiVideoSyarat dan KetentuanKebijakan Privasi
© 2017-2025 LSF Discourse
Refleksi

Act For The Greater Good: Dilema Moral Utilitarianisme

0

Bagaimana mungkin dapat mewujudkan kesenangan universal ketika kesenangan pribadi menjadi tumpuan dalam berpikir?

John Stuart Mill
Michael Hans
Michael Hans adalah seorang mahasiswa program studi Ekonomi Pembangunan di Universitas Brawijaya Malang

Diterbitkan pada Kamis, 26 Januari 2023
Topik
EtikaUtilitarianisme
Semua topik
Bagikan artikel ini

Bantu kami untuk terus bertahan

Donasi

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita mengonsumsi barang yang kita beli. Ketika kita lapar, kita membuat makanan atau membeli makanan. Mengapa? Karena kita lapar. Ketika rasa lapar menyerang, kita mengonsumsi makanan untuk menanggulangi rasa tidak puas akibat lapar. Dengan demikian, dalam kehidupan kita, kepuasan atau kesenangan pribadi merupakan salah satu aspek yang terus diupayakan untuk terpenuhi. Mungkin jika dilihat secara mikro, tidak akan berpengaruh ke kehidupan orang lain. Sekarang coba telaah dari sudut pandang makroskopik, ada pengaruh yang timbul ke pihak lain ketika kita mencoba untuk memenuhi kepuasan kita. Ketika berbicara mengenai hal tersebut, pemenuhan kepuasan individu, mungkin kita berpikir mengenai egoisme, tapi bukankah manusia memang makhluk yang egosentris? Di balik dilema berpikir tersebut, apakah perbuatan manusia untuk memenuhi kepuasan individu ini dapat dianggap baik?

Seiring berkembangnya filsafat moral, definisi mengenai etika dipengaruhi oleh aliran-aliran filsafat di dalamnya, bahkan utilitarianisme sendiri merupakan bentuk dari etika manusia. Menurut Bentham, kebahagiaan merupakan indikator moral dan pondasi ilmu sosial. Akan tetapi, dalam berpikir seperti seorang utilitarian sejati, ada hal yang harus disingkirkan dalam pandangan seseorang, yakni hal buruk, atau dalam kata lain, “penderitaan”. Berhubungan dengan hal tersebut, Jeremy Bentham mengembangkan pemikiran utilitarianismenya (terutama pada bidang hukum) dimana aturan yang dibuat haruslah mengedepankan kebahagiaan universal.

Utilitarianisme merupakan pandangan dimana perilaku yang baik adalah perilaku yang dapat memaksimumkan kesejahteraan, kebahagiaan, atau utilitas secara agregat. Konsep utilitarianisme sendiri menembus batas moral deontologis untuk memperoleh atau mengejar tujuan dari seseorang. Sebagai contoh, menolak norma yang melarang seseorang untuk menyakiti sesamanya walaupun seseorang itu harus melakukan itu untuk tujuan yang lebih baik, for the greater good. Konsep utilitarianisme bisa menimbulkan bias ketika premis tersebut disalahgunakan. Katakan ketika seseorang mengklaim dirinya untuk mengorbankan dirinya sendiri untuk orang banyak, tidak ada asosiasi atas justifikasi utilitarianisme dengan self sacrifice dilemma semacam itu.

Bahaya dari utilitarianisme sendiri tercermin ketika memang tidak ada norma yang membatasinya. Lantas apakah utilitarianisme sendiri bisa dikatakan sebagai bentuk etika, sementara etika sendiri dapat dimaknai sebagai pembeda antara baik dan buruk, kewajiban moral, atau peraturan ideal. Utilitarian bisa dikatakan etis apabila memang disahkan sebagai etika itu sendiri. Ketika “bahagia adalah baik dan penderitaan adalah buruk” sudah disepakati, dengan demikian, bertingkah utilitarian adalah etis. Persoalan dalam utilitarianisme ini sendiri adalah proses dalam pemenuhan kesenangan itu. Terdapat dua pertanyaan di dalam premis utilitarianisme ini, yakni apakah setiap orang memburu kebahagiaannya sendiri? Dan apakah kebahagiaan universal merupakan tujuan yang benar dari tindakan manusia?.

John Stuart Mill mengatakan bahwa kesenangan adalah hal yang dihasrati. Berbicara mengenai hasrat, apapun itu bisa menjadi obyek hasrat. Contoh, ada saja orang yang bisa saja menghasrati penderitaannya sendiri, seseorang bisa menghasrati kemenangan tim dalam pertandingan, dan sebagainya, sehingga kebahagiaan itu sendiri berbeda-beda berdasarkan apa yang dihasrati. Dengan demikian, timbul dilemma dalam pemikiran ini dimana kebaikan dapat dipandang keburukan sementara kebalikannya, kebaikan dapat dipandang sebagai keburukan, tergantung bagaimana hasrat tersebut disikapi. Logika utilitarianisme, lebih parahnya, dapat membangkitkan ego manusia yang sedang tertidur lelap

Dalam dunia yang berputar berlandaskan pada norma dan regulasi, konsep etika utilitarianisme perlu diperhatikan dan diwaspadai. Bagaimana mungkin dapat mewujudkan kesenangan universal ketika kesenangan pribadi menjadi tumpuan dalam berpikir?

Referensi

Kahane, G., Everett, J. A., Earp, B. D., Farias, M., & Savulescu, J. (2015). Utilitarian Judgments in Sacrificial Moral Dilemmas Do Not Reflect Impartial Concern For The Greater Good. Cognition, 139-209.

Russel, B. (2021). Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bagikan artikel ini
Diterbitkan pada Kamis, 26 Januari 2023
Topik
EtikaUtilitarianisme
Semua topik

Diskusi

Loading...
Bantu kami melaluidonasi di SociaBuzz
Artikel Terkait
Masyarakat Kairo karya Arthur von Ferraris
Refleksi
Sosiologi dan Sosiologi Islam: Suatu Dialog Pencerahan
Satrio Dwi Haryono0

Objektivitas tidak diukur melalui iman seseorang. Melainkan sejauh mana peneliti tersebut memegang komitmen keilmuan, mempertahankan kode etik penulisan dan penelitian, moralitas keilmuan serta nilai-nilai akademik.

Lukisan Diogenes yang tinggal di gentong
Kajian Tokoh
Semangat Hidup Asketis Diogenes de Sinope
Yogi Timor Ardani0

Manusia selalu membuat rumit setiap pemberian tuhan dalam hidup yang sebenarnya sederhana.

Old Photos of televisions
Refleksi
Urgensi Filsafat Abad 21: Menerka dan Menolak Budaya Maya
Ahmad Miftahudin Thohari0

Kelahiran filsafat bukan pemberontak kebodohan manusia. Tetapi, lebih pada pemikiran ilusif yang begitu mendominasi ruang kehidupan manusia.

Night karya James A O Connor
Kajian Tokoh
Amor Fati: Nietzsche dan Stoikisme
Mochammad Aldy Maulana Adha0

Amor Fati adalah perihal bagaimana mengelola energi, emosi, waktu, dan tenaga kita dengan bijak

Ilustrasi manusia purba
Refleksi
Rehabilitasi Plato
Novan Gebbyano0

Plato adalah sosok penting di dalam filsafat barat. Ada dua pemikir pra-sokratik yang mempengaruhi Plato yaitu Parmenides dan Democritus.

Refleksi
Relasionalitas Manusia dan Alam Kendeng
Adi Bagus Prima0

Melalui eksistensi, manusia tidak hanya menjadi satu kesatuan dalam dirinya sendiri namun juga dengan orang lain.