Discourse
KolaseKegiatanTentang Kami
  • Beranda
  • Refleksi
  • Kajian Tokoh
  • Pranala
  • Ulasan
  • Terjemahan
  • Warta
  • Kolase
  • Kegiatan
  • Tentang Kami
DISCOURSE
ArtikelKontakKontribusi EsaiTokoDonasiVideoSyarat dan KetentuanKebijakan Privasi
© 2017-2025 LSF Discourse
Pranala

Hegemoni Kesenangan

0

Secara praktis manusia didikte untuk menginginkan hal yang tidak dibutuhkan melalui iklan-iklan.

Pranala Hegemoni Kesenangan
Pranala Hegemoni Kesenangan
Dika Sri Pandanari
Dika Sri Pandanari
Pendiri LSF Discourse. Pengajar di Universitas Bina Nusantara Malang.

Diterbitkan pada Kamis, 13 Juni 2019
Topik
Rekayasa Sosial
Semua topik
Bagikan artikel ini

Bantu kami untuk terus bertahan

Donasi

Theodor W. Adorno, salah satu filosof kritis terpenting mahzab Frankfurt, merupakan tokoh yang mempengaruhi pemikiran Jurgen Habermas. Ia hidup di masa PD II. Ketika itu ia menentang kebijakan fasisme partai Nazi dan genosida yang digagas Hitler. Kritik Adorno dalam konteks hidupnya ditujukan kepada rakyat Jerman yang menutup mata pada mobilisasi massa ke Auschwitz. Baginya, rakyat Jerman adalah korban. Kemanusiaan mereka melucut lewat ancaman dan kesenangan. Rendahnya kemawasan dan rasa empati menandakan keberhasilan bentuk hegemoni untuk menjauhkan nurani atas nama kepentingan pribadi. Manusia dipaksa mengejar kesenangan pribadi, alih-alih mengembangkan hubungan intersubjektivitas.

Konsep kesenangan dalam tesis Adorno dipahami sebagai agenda awal kapitalisme untuk mendegradasi kualitas hidup manusia. Melalui analisis sosio-psikologis, sistem ini diuraikan sebagai penyakit yang menjauhkan manusia dari pengetahuan dan insting kemanusiaannya. Manusia dimanipulasi dengan hiburan, kesalehan awam, dan media yang serba mewadahi ego. Hal yang menjelaskan mengapa manusia tanpa lelah mengabadikan pemujaan pada dirinya sendiri (narsisme) dengan aneka senyum palsu di media maya. Senyum yang tak ada hubungannya sama sekali dengan lingkungan sosial mereka yang tengah mengais keselamatan akibat berbagai musibah, pun yang karam menghitung lambatnya waktu dalam ketidaktentuan sehari-hari untuk memperoleh kebutuhan dasar seperti makan dan tempat tinggal.

Secara praktis manusia didikte untuk menginginkan hal yang tidak dibutuhkan melalui iklan-iklan. Tak ada iklan yang menjual keprihatinan dan kritisisme. Hasrat individual tidak ditafsirkan sebagai pengolahan rasa yang diresepsi, melainkan dorongan untuk menguasai dan memiliki. Pada tahap lebih akut, manusia akhirnya dikondisikan untuk mengiklankan diri: menjadi kapstok artifisial yang melayani sesama konsumen kesenangan. Melalui siklus ini, manusia menjadi subjek pasif yang tak lagi mampu melakukan refleksi kritis melainkan bertindak hanya berdasar kepentingan individual untuk mendapat pengakuan atas keberadaan yang nir-objektif. Kebahagiaan tidak diukur dari keselarasan hubungan antar manusia namun distandarisasi melalui gaya hidup yang ditawarkan oleh kesenangan massa kapitalistik.

Bagikan artikel ini
Diterbitkan pada Kamis, 13 Juni 2019
Topik
Rekayasa Sosial
Semua topik

Diskusi

Loading...
Bantu kami melaluidonasi di SociaBuzz
Artikel Terkait
Refleksi
Rekayasa Sosial dan Pandemi
Fakhri Benindo0

Tidak aja jalan lain demi mengatasi pandemi selain rekayasa sosial.

Pranala Subjektivitas Artifisial
Pranala
Subjektivitas Artifisial
Dika Sri Pandanari0

Post-Truth menitikberatkan kepercayaan pribadi, opini subjektif dan emosi massal.