Discourse
KolaseKegiatanTentang Kami
  • Beranda
  • Refleksi
  • Kajian Tokoh
  • Pranala
  • Ulasan
  • Terjemahan
  • Warta
  • Kolase
  • Kegiatan
  • Tentang Kami
DISCOURSE
ArtikelKontakKontribusi EsaiTokoDonasiVideoSyarat dan KetentuanKebijakan Privasi
© 2017-2025 LSF Discourse
Kajian Tokoh

Hermeneutika Ala Wilhelm Dilthey

0

Bagi Dilthey, pengalaman bukanlah hal yang statis; sebaliknya, dalam kesatuan maknanya lah pengalaman dapat menjangkau dan meliputi rekoleksi masa lalu, serta dapat menjadi sumber bagi antisipasi masa depan dalam konteks “makna” keseluruhan.

Norman Rockwell
Norman Rockwell
Sirilus Yekrianus
Sirilus Yekrianus adalah mahasiswa sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang.

Diterbitkan pada Senin, 23 Mei 2022
Topik
Hermeneutika
Semua topik
Bagikan artikel ini

Bantu kami untuk terus bertahan

Donasi

Wilhelm Dilthey memulai teori hermeneutika-nya dengan distingsi ilmu, ialah ilmu alam (naturwissenschaften) dan ilmu sosial humaniora (geisteswisschenschaften). Pengenalan akan dua distingsi ini penting mengingat keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Ilmu alam menjadikan alam sebagai objek penelitian sementara objek penelitian dalam ilmu sosial adalah manusia. Bagi Dilthey, hal yang membedakan kedua disiplin ilmu ini bukan hanya pada tataran objeknya saja, tetapi juga pada orientasi subjek yang berpengetahuan, atau sikapnya terhadap objek (Edi Susanto, 2016:47). Lebih lanjut Dilthey mengatakan, “Ilmu-ilmu alam mempunyai bentuk-bentuk yang muncul pada kesadaran sebagai sesuatu yang berasal dari luar, sebagai gejala, dan secara khusus sebagai sesuatu yang diterima dengan sendirinya. Sebaliknya humaniora objeknya muncul dari dalam, sebagai suatu realitas dan sebagai suatu orisinalitas yang hidup.” (Roy J. Howard, 2000:37).

Gagasan Dilthey tentang hermeneutika disandingkan dengan ilmu-ilmu sosial. Itulah mengapa ia membedakan ilmu-ilmu alam dengan sosial. Dalam menggagas teorinya ini, Dilthey menaruh perhatian pada ilmu sejarah. Baginya, dalam merefleksikan ilmu humaniora hal yang perlu dilakukan adalah mencari makna teks dalam kaitannya dengan konteks sejarah. Dari sini dapat dicermati bahwa hermeneutika Dilthey bertujuan untuk memahami teks sebagai ekspresi sejarah, dan bukan ekspresi mental penggagas. Hal yang perlu direkonstruksi dari teks adalah makna atas suatu peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya sebuah teks (Edi Susanto, 2016:47-48).

Lebih lanjut Dilthey menyatakan bahwa hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah. Artinya, makna dari suatu teks tidak pernah berhenti pada suatu periode hidup manusia atau tidak pernah berhenti pada suatu masa, tetapi selalu kontekstual dengan situasi mana pun. Karenanya, interpretasi tidak bersifat statis melainkan bersifat dinamis. Dilthey juga menekankan bahwa tidak ada kanon atau hukum untuk interpretasi. Baginya, historisitas bukan soal rangkaian peristiwa yang dibatasi oleh ruang, waktu, dan peristiwa tertentu dalam kurun waktu yang terbatas. Historisitas adalah serangkaian yang bersifat menyeluruh dari bagian yang saling terkait satu sama lain.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, Mengapa Dilthey selalu menyandingkan sejarah dalam refleksinya atas teks? Dilthey menyatakan bahwa metode ini dilakukan untuk memperoleh interpretasi “objektivitas yang valid” dari “ekspresi kehidupan” (Richard E. Palmer, 2003:113). Bagi Dilthey, manusia pada dasarnya hidup tidak dalam kategori-kategori mekanis tetapi dalam kompleksitas pengalaman-pengalaman hidup langsung, sebagai sebuah totalitas yang merupakan momen-momen makna hidup, serta dalam pemahaman partikular yang harmonis (Richard E. Palmer: 113). Inilah mengapa metode ilmiah tidak dapat digunakan untuk menafsir kehidupan yang dinamis. Sebab metode ilmiah berusaha menampilkan rumusan-rumusan yang pasti, sementara hermeneutika menghormati dan menjunjung tinggi dinamika kesejarahan hidup manusia.

Geisteswissenschaften sebagai Fondasi Hermeneutika

Penulis telah sedikit menyinggung soal gambaran singkat gagasan Dilthey tentang humaniora. Dan kini muncul pertanyaan baru, mengapa Geisteswissenschaft menjadi fondasi dalam hermeneutika Dilthey? Bagi Dilthey, Geisteswisschenschaften adalah dasar permenungan hermeneutika yang berangkat dari kesadaran bahwa manusia sesungguhnya hidup tidak dalam kategori-kategori mekanis, melainkan dalam kompleksitas pengalaman-pengalaman hidup langsung sebagai sebuah totalitas. Ialah kesatuan momen-momen makna hidup, serta hidup dalam pemahaman partikular yang harmonis (Richard E. Palmer:113).

Geisteswisschenschaften tidak menempatkan manusia sebagai objek statis bagi penelitian ilmu alam. Kehidupan manusia senantiasa menyejarah, artinya, tidak pernah selesai. Karena itu, diperlukan metode yang khas sehingga manusia dapat memahaminya secara berbeda. Hermeneutika adalah metode yang tepat untuk mencapai pemahaman sedemikian rupa. Hermeneutika tidak hanya menawarkan hasil-hasil yang pasti dan statis, melainkan juga menyejarah.

Interpretasi Kehidupan Pribadi Manusia dalam Totalitas Kesejarahannya

Bagi Dilthey, kehidupan individu dipengaruhi oleh dua faktor utama, ialah faktor eksternal (lingkungan sosial) dan faktor internal (psikologis). Kedua unsur tersebut memainkan peranan penting dalam memahami individu. Dilthey menegaskan bahwa lingkungan eksternal maupun kejiwaan internal seseorang harus dilihat secara saksama dengan maksud untuk memahami perilakunya. Dalam hal ini, Dilthey pertama-tama membuat deskripsi, kemudian mengadakan interpretasi (E. Sumaryono, 1993:46).

Bagi Dilthey manusia adalah “makhluk historis “(ein geschichtliches wesen). Historisitas ini dilihat dari dua hal ialah, pertama, manusia memahami dirinya tidak melalui introspeksi, tetapi melalui objektifikasi hidup. Kedua, hakikat manusia bukanlah sebuah esensi yang baku. Baginya, manusia adalah “makhluk yang belum pasti, makhluk yang belum ditemukan apa sebenarnya ia.” (Palmer, 2003:131-132). Bagi Dilthey, secara eksistensial manusia yang memaknai hidupnya berdasarkan kegiatan-kegiatan atau faktor-faktor eksternal, seperti lingkungan, struktur kemasyarakatan, situasi sosial, agama, dan lain-lain. Manusia sungguh-sungguh menempatkan hidupnya pada situasi konkret di mana pengalaman hidupnya menyejarah. Inilah mengapa Dilthey mengatakan bahwa pemahaman dan interpretasi atas kegiatan individu dengan sendirinya tersituasikan dalam sistem-sistem eksternal dari organisasi-organisasi sosial, politik dan ekonomi, beserta dengan nilai-nilainya sendiri yang sudah dianggap mapan (E. Sumaryono:46).

Historisitas individu menunjukkan kenyataan bahwa individu tidak pernah berada tetap pada satu titik tertentu, di mana totalitas pemahaman terhadapnya mencapai titik selesai. Maka untuk memahami seseorang, maka pasang surut kehidupannya juga harus dilibatkan. Inilah alasan mengapa Dilthey berkesimpulan bahwa interpretasi adalah suatu seni memahami manifestasi atau pengejawantahan hal yang bersifat vital dan ditampakkan pada kebiasaan yang tahan lama (E. Sumaryono:51). Hermeneutika tidak berada di luar sejarah. Dikatakan demikian karena bagian-bagian makna hidup (totalitas) manusia membutuhkan konteks masa lalu dan harapan-harapan horizon masa yang akan datang; di mana secara intrinsik bersifat temporal dan terbatas, dan harus dipahami dalam terminologi historisitasnya (Palmer:113) Kehidupan dilihat dalam terminologi “makna”; kehidupan adalah pengalaman manusia yang dikenal dari dalam.

Pada akhirnya, manusia dilengkapi dengan pengalaman-pengalamanyang unik baik secara individu maupun relasional. Bagi Dilthey, pengalaman bukanlah hal yang statis; sebaliknya, dalam kesatuan maknanya lah pengalaman dapat menjangkau dan meliputi rekoleksi masa lalu, serta dapat menjadi sumber bagi antisipasi masa depan dalam konteks “makna” keseluruhan.

Daftar Rujukan

Howard, Roy J. Hermeneutika Wacana Analitis, Psikososial, & Ontologis, (Penterj.), Kusmana dan M. S. Nasrullah, Jakarta: Yayasan Nuansa Cendekia, 2000.

Sumaryono, E. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Susanto, Edi. Studi Hermeneutika Kajian Pengantar. Jakarta: Kencana, 2016.

Bagikan artikel ini
Diterbitkan pada Senin, 23 Mei 2022
Topik
Hermeneutika
Semua topik

Diskusi

Loading...
Bantu kami melaluidonasi di SociaBuzz
Artikel Terkait
Kajian Tokoh
Teori Dekonstruksi Jacques Derrida sebagai Hermeneutika Radikal
Yohanes Florianus Tana0

Dekonstruksi sebagai hermeneutik radikal ditandai dengan pergantian perpektif terus-menerus sehingga makna “tidak dapat diputuskan”

Ulasan
Aku dan Teks
Ignatius Abdiel Utama0

Teks menyembunyikan kebenaran melalui parafrase. Ia bukan menghapus atau meniadakan nilai awali, melainkan menyamarkannya melalui cara teks mengemas pesan.

Tafsir Al-Quran
Refleksi
Hermeneutika sebagai metode alternatif dalam memahami teks Al-Qur’an
Salman Akif Faylasuf0

Apakah bahasa yang digunakan dalam kitab suci tersebut adalah bahasa Tuhan atau, perkataan Tuhan yang dibahasakan oleh nabi sesuai dengan bahasa daerahnya?

Jacques Derrida karya Denis Dailleux
Kajian Tokoh
Jejak teologis dalam dekonstruksi
Albi Abdullah0

Dekonstruksi berpijak dari keterbukaan iman kepada masa depan absolut. Pengalaman religius akhirnya menjadi pergumulan diri bersama ketidakpastian radikal, kenyataan yang tak terencanakan dan memungkinankan iman untuk goyah.

Kajian Tokoh
Hermeneutik dan Retorik Gadamer
Bonifasius Prasetya0

Hermeneutika dan retorika menjadi dasar dari setiap dinamika pemahaman dan penyampaian setiap dinamika sosial karena mereka menjadi peta bagaimana dinamika itu harus bergerak dan menghasilkan buah yang baik.

Paul Cliteur
Kajian Tokoh
Memahami interaksi masyarakat dengan hermeneutika
Lutfi Mahendra0

Hermeneutika tidak hanya sekedar memahami teks. Sebelum teks dipahami, teks harus dibaca terlebih dahulu, yang artinya ada interaksi kerja yang dilakukan pembaca terhadap apa yang dibacanya.