Discourse
KolaseKegiatanTentang Kami
  • Beranda
  • Refleksi
  • Kajian Tokoh
  • Pranala
  • Ulasan
  • Terjemahan
  • Warta
  • Kolase
  • Kegiatan
  • Tentang Kami
DISCOURSE
ArtikelKontakKontribusi EsaiTokoDonasiVideoSyarat dan KetentuanKebijakan Privasi
© 2017-2025 LSF Discourse
Refleksi

Memunculkan Intelektual Islam untuk Sekarang

0

Dengan munculnya semangat intelektual generasi ini atau akan lahir kepercayaan yang tidak mudah ditafsir dan benar-benar mendidik manusia untuk menjadi yang kuat dan siap untuk menghadapi dunia yang diciptakan oleh Tuhan.

Ralip Sakur
Ralip Sakur
Pelajar dan pegiat filsafat dan seni

Diterbitkan pada Rabu, 17 Mei 2023
Topik
Filsafat AgamaFilsafat Islam
Semua topik
Bagikan artikel ini

Bantu kami untuk terus bertahan

Donasi

Tidak ada cara yang lebih kejam dari langkah melumpuhkan suatu peradaban kecuali membuatnya stag. Peradaban yang sesuai untuk bahan diskusi saat ini tidak lain adalah peradaban Islam. Peradaban Islam adalah salah satu peradaban maju di zamannya, dengan tumbuhnya ilmu filsafat, ilmu tasawuf, dan sains. Peradaban ini dulu bahkan mampu mendahului peradaban Eropa dan menjadi salah satu pusat perdagangan terbesar di daerah Timur. Hemat penulis, masa tersebut merupakan gambaran masa-masa kejayaan yang begitu gemilang dan luar biasa.

Tokoh-tokoh yang waktu itu hidup juga memiliki nama yang tidak kalah menarik dari para tokoh besar di Eropa. Sebut saja Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, dan masih banyak lagi. Corak pemikiran mereka pun tidak bisa dilepaskan dari pemikiran-pemikiran klasik dari filsafat Yunani seperti Plato, Socrates, dan Aristoteles.

Menariknya, kaum intelektual Islam tidak menelan mentah-mentah pemikiran filsuf terdahulu. Mereka mengembangkan dan mencampur filsafat dengan ilmu tasawuf dan fiqih sehingga terlahir filsafat Islam. Dalam pembelajarannya, filsafat Islam mengharapkan seorang intelektual dapat memiliki pikiran rasional layaknya seorang filsuf Yunani. Namun di lain sisi juga memiliki semangat yang tinggi untuk mencari Tuhan, agar para pemikir ini dapat mengenal kebesaran Tuhan.

Skeptisisme terhadap keilahian dalam periode ini bisa saja sangat tinggi. Hal ini terjadi karena dengan adanya perkembangan pengetahuan serta sains. Namun, sesungguhnya dengan cara seperti ini, sebuah zaman justru dapat berkembang secara pesat dan kokoh karena mampu memunculkan kompetisi-kompetisi intelektual yang ketat.

Meskipun peradaban Islam sangat maju namun akhirnya peradaban ini harus menerima sebuah stagnasi intelektual hingga sekarang. Menurut saya awal dari kemandekan ini terjadi akibat dari filsuf Imam Al-Ghazali. Mengapa demikian? Karena Al-Ghazali tidak pernah sekalipun memandang filsafat tanpa adanya ajaran agama, dia tidak sekalipun pernah menjajal filsafat tanpa pandangan filsuf barat selain Plato, Aristoteles, dan Socrates. Padahal masih banyak pemikiran-pemikiran yang perlu dirinya gali seperti Thales, Gorgias, Anaximenes, dsb. Hal ini adalah sebuah kejahatan yang begitu besar, adalah pematenan ilmu tanpa melihat ilmu-ilmu yang lain dari pemikir lain. Ini dapat membuat generasi selanjutnya harus berpikir sama tanpa bisa berpikir secara lebih karena adanya barikade tersebut (pematenan).

Meski demikian harus penulis akui bahwa Al-Ghazali bukanlah seorang filsuf yang seratus persen salah. Namun dari karya-karyanya yang kontroversial membuat banyak sekali kaum-kaum intelektual menyalahgunakan teori-teorinya, seakan pemikiran ia adalah yang paling absolut. Inilah konsekuensi dari pematenan.

Peradaban Islam selain stag pada bidang intelektual peradaban ini juga harus menghadapi berbagai konflik dan krisis-krisis yang mulai merebak seperti serangan invasi yang parah yaitu invasi bangsa Mongol di kota Baghdad. Krisis seperti yang terjadi di Baghdad kala itu menghabiskan banyak sekali produk-produk pemikiran (buku-buku) dan perpustakaan yang harus hancur dan hangus oleh api pasukan Mongol. Akibatnya, peradaban ini mau tidak mau harus mengulanginya lagi dan lagi.

Hal ini menjadi irosni, pudarnya semangat intelektual Islam pada beberapa generasi selanjutnya kurang mampu untuk menjayakan kembali intelektualitas Islam. Kaum intelektual Islam sering kali terlalu sibuk untuk mengkaji pengajaran yang berulang-ulang telah disampaikan. Nalar seakan terkurung tanpa bisa memulihkan kembali kejayaan-kejayaan Islam. Dr. Franz Magnis Suseno juga berkata “Iman yang tidak disertai dengan nalar itu belum bisa dimaksud Iman. Iman hanya utuh jika setiap diri manusia terlibat untuk hal ini nalar juga harus terlibat”.

Membangkitkan Intelektualitas

Satu-satunya cara untuk memulihkan kembali kejayaan peradaban Islam saat ini adalah membangkitkan nalar skeptis. dengan skeptis kita bisa melihat antara yang absolut dan yang tidak absolut serta antara yang benar dan yang tidak benar. Namun kita juga harus memberi jarak sedikit dari skeptis, karena konsekuensinya adalah kita bisa terperangkap dalam hutan keraguan. Pun hal ini adalah gejala yang wajar, karena jika kita terlalu skeptis kita akan mudah untuk menghancurkan ideologi dan isme yang membelenggu nalar kita, yang pada akhirnya memberi kita jalan keluar untuk menyerap kembali pengetahuan yang baru.

Akan terdapat banyak kompetisi-kompetisi intelektual dari setiap individu untuk berdiskusi dan akan terlihat kembali mahasiswa-mahasiswa serta tokoh-tokoh agama yang memiliki nalar dan ilmu yang lurus, yang tak akan mudah goyah. Naasnya hanya segelintir para pendidik dan para tokoh agama yang menyadari hal ini.

Dalam kasus seperti ini kita tidak boleh mencarinya kedamaian dan tenang. Seorang intelektual harus mencari kekacauan, berani menantang api layaknya Prometheus yang berusaha memberikan api kepada manusia. Karena kedamaian dan ketenangan adalah bentuk representasi dari dekadensi (kemerosotan) itu sendiri. Dewasa ini seharusnya kita sebagai generasi yang mewarisi pengetahuan dan sejarah Islam, seharusnya mampu untuk membangkitkan lagi semangat berdialektika seperti dulu. Bukan untuk mencari kedamaian karena telah mencapai puncak.

Itulah poin pertama untuk kebangkitan intelektual Islam yaitu skeptis seperti yang saya jelaskan di atas. Lalu poin kedua adalah bebaskanlah setiap manusia untuk berpikir dan mempertanyakan fenomena-fenomena yang ada di hadapannya karena orang-orang yang besar pasti dirinya akan skeptis dan orang-orang yang kecil harus membuat argumentasi yang mampu menggoyahkan keragu-raguan. Sehingga, akan terjadi dialektika, akan tercipta diskusi. Poin ketiga adalah berkatalah jujur dan terus terang kepada mereka yang lemah. Membua mereka sadar jika kehidupannya bukan hanya soal kebahagiaan namun juga soal penderitaan. Jangan biarkan mereka memohon namun mereka harus ditempa. Poin-poin ini tidak harus dipatenkan karena setiap zaman pasti memiliki kerumitannya tersendiri namun jadikanlah poin-poin ini sebagai poin terakhir. 

Dengan munculnya semangat intelektual dan tokoh-tokoh besar generasi ini atau selanjutnya akan lahirlah kepercayaan yang tidak mudah ditafsir secara sembarangan dan benar-benar mendidik manusia untuk menjadi yang kuat dan siap untuk menghadapi dunia yang diciptakan oleh Tuhan.

Dan untuk para intelektual baru jadikanlah diri kalian untuk hidup saat ini dan bukan hidup di masa lalu jadikanlah sejarah kelam itu untuk mengevaluasi dan arit untuk membabat mereka yang berusaha meracuni beserta jangan gunakan sejarah kelam untuk diceritakan saja. Namun aplikasikan teori yang ada dalam kandungannya untuk dijadikan landasan.

Nietzsche dalam bukunya Senjakala berhala mengatakan “Dewasa ini tidak cukup kalau hanya memiliki semangat: orang harus juga memiliki anggapan telah memilikinya…” (Aforisme 1:88). Banyak tokoh dan kaum pendidik mengatakan jika peradaban Islam sangat maju dan mereka berimajinasi seakan mereka mengharap kita tak hanya perlu mengharap tapi kita juga perlu memiliki hak untuk membangkitkan semangat-semangat untuk maju tadi. Albert Camus juga pernah mengatakan bahwa kebebasan tidak hanya diharap namun juga diperjuangkan, namun siapa lagi saat ini yang memperjuangkan kalau bukan kita para pewaris-pewarisnya, apa yang akan dikatakan oleh pewaris jika melihat kita? Inilah kegagalan kita.

Referensi

Nietzsche, 1888, “Senjakala berhala”: Jerman.

Bagikan artikel ini
Diterbitkan pada Rabu, 17 Mei 2023
Topik
Filsafat AgamaFilsafat Islam
Semua topik

Diskusi

Loading...
Bantu kami melaluidonasi di SociaBuzz
Artikel Terkait
Syndics of the Drapers Guild karya Rembrandt
Ulasan
Kumpulan Artikel Filsafat karya Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Yosef Fandri0

Esai-esai karya Yohanes Wahyu Prasetyo OFM ini merupakan hasil dari meditasi intelektualnya selama studi Magister Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Abraham Joshua Heschel
Kajian Tokoh
Menggugat Allah Yang Diam
David Ryantama Sitorus0

Probabilitas kejahatan semakin meningkat. Manusia sering kali mendapati dirinya kehilangan jejak dalam pencarian akan kehadiran Tuhan.

Ilustrasi dari foto Murthadha Muthahhari
Kajian Tokoh
Relasi Tuhan dan Kehendak Bebas Manusia
Khodadad Azizi0

Keterikatan pada Tuhan adalah sebuah gerak manusia dari dirinya yang serba kurang (lack) menuju “Diri” yang kamil lagi lengkap

Al Ghazali dan Thomas Aquinas
Refleksi
Thomas Aquinas dan Al-Ghazali: Disrupsi Filsafat Hukum Kontemporer
Mohamad Hidayat Muhtar0

Salah satu kontribusi terbesar Aquinas dalam hukum kontemporer adalah teorinya mengenai hukum alam.

Excommunicated Spinoza karya Samuel Hirzsenber
Refleksi
Kesamaran Perbedaan Monisme dan Panenteisme
Salman Akif Faylasuf0

Jadi monisme mempunyai pengertian yang lebih luas dari pada panteisme: setiap panteisme adalah monisme, tetapi tidak setiap monisme adalah panteisme.

Kajian Tokoh
Sir Muhammad Iqbal: Kekuasaan Tuhan dan Kebebasan Manusia
Berlian Faza Pratama0

Tuhan pertama kali menampakkan keberadaan-Nya bukanlah berasal dari luar diri manusia, melainkan berasal dari dalam diri manusia itu sendiri yang biasa kita sebut ego