Discourse
KolaseKegiatanTentang Kami
  • Beranda
  • Refleksi
  • Kajian Tokoh
  • Pranala
  • Ulasan
  • Terjemahan
  • Warta
  • Kolase
  • Kegiatan
  • Tentang Kami
DISCOURSE
ArtikelKontakKontribusi EsaiTokoDonasiVideoSyarat dan KetentuanKebijakan Privasi
© 2017-2025 LSF Discourse
Refleksi

Mengapa manusia membenci?

0

Barangkali benar bahwa membenci adalah suatu fitrah bagi manusia.

Ricky Setya Prayoga

Diterbitkan pada Jumat, 15 Maret 2019
Topik
EksistensialismeJean-Paul SartreSigmund Freud
Semua topik
Bagikan artikel ini

Bantu kami untuk terus bertahan

Donasi

Apabila bagi Jean Paul Sartre kematian seseorang merupakan akibat dari terkikisnya subjek oleh suatu objek, maka kebencian adalah ihwal yang benar dan naluriah bagi manusia. Dengan kata lain, ‘aku’ sebagai subjek telah terkikis menjadi sebuah objek karena kehadiran ‘aku’ yang lain. Sehingga akibatnya, kehadiran seseorang cenderung memandang sudut pandang subjek lain sebagai objek. Peristiwa ini wajar terjadi, sebagaimana kita sebagai subjek memandang diri mereka yang lain sebagai objek baik secara sadar maupun tidak. Ketika kehadiran ‘objek’ mengancam subjektifitas tersebut maka ada suatu keengganan terkait dominasi yang dirasa mungkin dapat terjadi. Untuk mempersiapkan saat tersebut maka seorang ‘aku’ selaku subjek melakukan dominasi terlebih dahulu atas yang lain.

Melalui fenomena tersebut terdapat dua kemungkinan kemungkinan yang dapat terjadi. Yang pertama, bila pun ‘aku’ sebagai subjek berhasil membuat wilayah dominasi terkait objek, maka ke-‘aku’an akan bertahan dan berusaha untuk terus bertahan. Pendakuan atas keberadaan dirinya sudah tegak dan harus dipertahankan. Namun apabila upaya tersebut gagal (karena daya saing atau pilihan untuk menyerah) maka dapat muncul rasa terancam. Perasaan yang jika terus dipertahankan akan menjadi keengganan yang begitu dalam dan intensif. Keengganan itu-lah yang berpotensi menjadi wajah baru. Wajah kebencian.

Kebencian seolah sesuatu yang begitu mendalam dan intensif. Terjaga seperti api yang tak nampak dalam sekam serta selalu dijaga. Mirip dengan bara api yang tergambarkan sebagai kebencian, selalu siap membesar kapan pun udara bergerak. Akibat kegagalan ‘agresi’ dominasi tersebut, ke-aku-an terancam dan menjadi minor. Ketika keadaan itu berlangsung sedemikian panjang, subjektifitas dirasa mati. Tidak ada lagi objek yang menjadi pendasaran hidupnya, tidak ada objek untuk ditindas, tidak ada objek untuk didominasi. Semuanya tergantikan oleh situasi dimana objek yang menjadi kuasa penuh atas subjek. ‘Aku’ dikuasai objek.

Melalui kacamata Sigmund Freud, kebencian merupakan sebuah kondisi ego dimana terdapat keinginan menghancurkan segala yang membuat bahagia. Ego tersebut begitu dominan (lagi-lagi) sehingga yang terjadi kemudian adalah potensi terbunuhnya rasa yang disinyalir sebagai ‘bahagia’. Alih-alih berusaha mengetahui bagaimana ego tersebut bisa muncul, penulis lebih tertarik dengan pertanyaan mengapa manusia (lebih) memilih ego tersebut hadir.

Apabila benang merah coba ditarik di antara pemikiran Sartre dan Freud, terdapat kaitan antara kematian subjek dan kondisi subjek yang memiliki keinginan untuk menghancurkan tersebut. Keduanya sama-sama kalah. Kematian mengalahkan kehidupan serta kehancuran mengalahkan peradaban (yang di dalamnya tentu terdapat kehidupan). Kekalahan bukanlah suatu kondisi yang serta merta hadir melainkan kondisi pasca kejadian. Tentu dalam pra kejadian tersebut tidak selalu muncul pengharapan atas kondisi baik. Kondisi ini lebih indah bila dapat disebutkan sebagai kondisi antara, yaitu berjalannya masa antara yang menyenangkan dan tidak. Kata ‘dan’ mewakili kondisi tengah dari keduanya. Setelah peralihan itu akan muncul suatu kondisi chaos yang kemudian mengalahkan keadaan ‘sebelum’. Sehingga akan hadir suatu kondisi pasca yang chaotic, sebuah kehadiran baru.

Manusia sebagai makhluk yang memiliki kelebihan—walau istilah ‘kelebihan’ kurang mengena seperti dalam kalimat ‘teh ini kelebihan gula’—yaitu pada akal, dimana manusia memiliki kemampuan tertentu untuk memilih. Pilihan itu berkisar antara kejadian pasca chaotic yang akan menjadi ‘sesuatu yang mengalahkan’ atau justru menjadikannya sebagai sebuah revolusi. Apabila yang terjadi adalah kemenangan bagi ‘sesuatu yang mengalahkan’ akan timbul suatu ke-tak-suka-an yang mendalam (yang selanjutnya umum dimengerti sebagai benci). Namun jika yang dipilih misalnya, adalah tindakan revolusi maka yang terjadi adalah perubahan pola pikir hasil dialektika antara pra dan pasca. Kehadiran baru tersebut bukan merupakan suatu hasrat yang begitu primitif yang bernama ‘kebencian’. Hal yang senada diutarakan Armada Riyanto mengutip Friedrich Nietzche dalam Menjadi Mencintai (2013) bahwa kekerasan merupakan bagian komplementer dari eksistensi manusia. Suatu yang ihwal walau tak awal berada dalam keberadaan manusia.

Barangkali benar bahwa membenci adalah suatu fitrah bagi manusia. Namun tetap, hal tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari sisi-sisi opsional yang masih bisa dihindari. Kebencian adalah salah satu dari begitu banyak fitrah yang didapat manusia, di samping cinta, pengharapan dan belas.

Apabila umumnya dikatakan bahwa benci adalah antonim dari cinta, tidak begitu halnya dalam pandangan R. J. Stenberg. Baginya benci bukan merupakan oposisi dari cinta. Terdapat tiga indikator yang dapat dikenali dalam mendeteksi cinta dan benci melalui instrumen yang sama. Pendekatan tersebut di antaranya adalah kedekatan, perasaan, dan komitmen. Hadirnya ketiga aspek tersebut merupakan petanda yang begitu menyolok dari cinta. Namun hilangnya ketiga instrumen tersebut menjadi tanda hadirnya kebencian. Hilangnya kedekatan melahirkan keengganan, hilangnya perasaan menimbulkan ketakutan atau kemarahan, dan hilangnya komitmen memunculkan devaluasi dan reduksi karakter. Maka secara bersamaan, hal yang paling mungkin terjadi adalah kondisi di mana keseluruhannya sama-sama saling tidak berdekatan, tapi masih menebar panas dan menimbulkan prasangka-prasangka yang berkesan mereduksi karakter asal.

Pada titik ini frase benci bukan lawan atas cinta masih kurang sesuai serta patut diperdalam dan memungkinkan penjabaran yang lebih luas lagi. Pun tidak dengan benci lawan dari cinta. Apabila berangkat dari instrumen yang telah dijelaskan sebelumnya maka benci mungkin adalah suatu kondisi yang gagal di dalam mempertahankan cinta.

Kembali pada pertanyaan yang memberangkatkan pembacaan awal, mengapa manusia membenci? Uraian persoalan di atas membawa kepada kesimpulan bahwa akan lebih tepat apabila pertanyaan diubah menjadi ‘mengapa manusia memilih membenci?’.

Bagikan artikel ini
Diterbitkan pada Jumat, 15 Maret 2019
Topik
EksistensialismeJean-Paul SartreSigmund Freud
Semua topik

Diskusi

Loading...
Bantu kami melaluidonasi di SociaBuzz
Artikel Terkait
Refleksi
Ketika Manusia Memilih Hidup Dalam Kenangan
Anggi Gilang Angkasa0

Hidup dalam kenangan adalah hidup bersama maya

Simone de Beauvoir
Terjemahan
Kekuatan Sinema di Mata Simone de Beauvoir
Karina Puspita Sari0

Kendati de Beauvoir tidak pernah menuangkan ide-ide observasinya tentang film pada sebuah buku atau esai, tapi ia banyak mereferensikan unsur sinema pada berbagai tulisan publik dan privat yang ia hasilkan selama hampir enam dekade hidupnya.

Lukisan Narcissus karya John William Waterhouse.
Terjemahan
Hidup bagaikan khalayak ramai
Karina Puspita Sari0

Bagaimana cara menjadi individu yang orisinil? Filsuf eksistensialis, Kierkegaard dan Heidegger, mencoba memberikan analisis mengapa kita sulit menjadi diri yang sejati.

Refleksi
Mencari Tujuan Manusia
Ricky Setya Prayoga0

Dari sini kita mengerti, bahwa manusia memang tak pernah berhenti. Dan mungkin jika manusia dengan mudah menemukan tujuan, kebahagiaan itu, Hemingway akan urung memuntahkan peluru pada pikirannya yang telah menginspirasi dunia.

Martin Heidegger
Refleksi
Kemenjadian “Aku” dalam paradoks identitas
Reza Fauzi Nur Taufiq0

Seluruh konflik identitas itu sebenarnya bukan disebabkan oleh perbedaan identitas, sebab tidak satupun manusia bisa lepas dari identitas, yang utama adalah keberadaan diri kita, memahami diri kita, dan menegaskan misi otentisitas diri kita.

Refleksi
Relasionalitas Manusia dan Alam Kendeng
Adi Bagus Prima0

Melalui eksistensi, manusia tidak hanya menjadi satu kesatuan dalam dirinya sendiri namun juga dengan orang lain.