Discourse
KolaseKegiatanTentang Kami
  • Beranda
  • Refleksi
  • Kajian Tokoh
  • Pranala
  • Ulasan
  • Terjemahan
  • Warta
  • Kolase
  • Kegiatan
  • Tentang Kami
DISCOURSE
ArtikelKontakKontribusi EsaiTokoDonasiVideoSyarat dan KetentuanKebijakan Privasi
© 2017-2025 LSF Discourse
Pranala

Relevansi Kebodohan

0

Masa depan mereka yang tidak mampu menyelaraskan rasio dan moral adalah membuat kebodohan paling ironis melalui ketumpulan moral yang terlembaga dalam masyarakat hingga mengakar di sistem sosial-kebudayaan.

Pranala Relevansi Kebodohan
Pranala Relevansi Kebodohan
Dika Sri Pandanari
Dika Sri Pandanari
Pendiri LSF Discourse. Pengajar di Universitas Bina Nusantara Malang.

Diterbitkan pada Kamis, 10 Oktober 2019
Topik
Sosial
Semua topik
Bagikan artikel ini

Bantu kami untuk terus bertahan

Donasi

Di perempat bulan ke lima, seorang tuan penggilingan zaitun hendak mengadakan pesta bagi sahabat dan orang-orang pilihan. Undangan disiarkan melalui perbincangan tiap kepala pedagang; petugas pajak dermaga; petinggi kota; hingga buruh di tepi pantai. Saat pesta dihelat, seluruh tamu undangan datang mengenakan jubah terbaik mereka. Namun gemerlap pesta terusik oleh kerumunan pengemis dan kawanan tunawisma di luar ruangan. Saat tuan pesta meninjau kerumunan di luar tersebut, ia tertegun dan terusik melihat pengharapan di mata mereka. Kepapaan mereka menyentuh dan merasuk ke dalam perasaan sang tuan hingga ia tidak kuat menahan. Tuan yang tengah berbahagia tersebut lalu meminta pelayan untuk mengusir para pengemis. Baginya, kebahagiaan tidak sempurna bila ia masih melihat penderitaan. Melihat kemiskinan hanya menghadirkan kepedihan dan ia tidak ingin hal menggelisahkan tersebut singgah terlalu lama di dalam dirinya.

Tuan yang tengah berpesta ialah salah satu subjek pembahasan paradoksial Slavoj Zizek. Dalam buku Mati Ketawa Cara Slavoj Zizek, ia menyatakan bahwa hingga hari ini humor lama mengenai tuan yang meminta pada pelayannya, 'Usir pengemis itu – aku perasa sekali dan tak tahan melihat orang menderita!' masih relevan. Permintaan tuan untuk mengusir para pengemis mengandung dua kritik logis di mana recta ratio tidak sedang berlaku dalam alasan-alasan moral. Kritik pertama ialah perlawanan makna (paradoks) dari permintaan dan tujuan tuan tersebut. Dalam logika permintaan tuan terdapat induk dan anak frasa yang dapat menguatkan sekaligus melemahkan garis pengertian di dalamnya. Kewajaran paradoks tersebut mengandung perlawanan makna dalam setidaknya dua atau lebih hal. Dalam humor di atas misalnya, tuan yang mendaku tidak tahan dengan kemiskinan dan penderitaan justru mengusir para pengemis. Tuan tersebut 'menderita' dan mengusahakan kebahagiaan bagi dirinya dengan membangun jarak dari ketakutannya, ialah kemiskinan. Fungsi ekspresi (rasa iba) dalam perintah sang tuan berbeda dengan fungi informasinya (pengusiran pengemis) hingga menyebabkan silogisme berbenturan dan menimbulkan logika yang sesat.

Kritik kedua ialah kenyataan bahwa manusia bermutasi dalam kemiskinan moral, yang bagi Zizek, merupakan fenomena relevan hingga hari ini. Dalam moral umum – terlepas dari kesepakatan kolektif para tamu mengenai apa yang harus dilakukan oleh tuan tersebut – para pembaca yang budiman akan menyarankan kepada empunya pesta untuk membantu pengemis melepaskan diri dari penderitaan. Bagi Zizek, paradoks permintaan tuan menjadi nyata dengan ragam kebodohan yang menjamur dalam masyarakat, di mana ia ingin menggambarkan bahwa kebodohan telah merajalela, di tiap-tiap meja pesta, di tiap-tiap keriangan. Kebodohan ini merupakan mode pengingkaran yang manusia pilih karena rendahnya daya laku dan kepekaan moral menghadapi kesenjangan-kesenjangan sosial. Gema kebodohan menguat melalui paradoks yang kian menyedihkan di mana keselarasan pikiran dan panggilan hati dilemahkan. Zizek memprediksi bahwa dalam satu atau dua dekade lagi humor ini dimungkinkan semakin relevan. Kebodohan yang sama akan kita lakukan sendiri dalam realitas alih-alih dalam bingkai humor. Andai tuan adalah kita, kemungkinan paling banal bukan berupa pengusiran terhadap kaum papa di luar ruang pesta melainkan penebaran rejeki yang tak seberapa, agar mereka saling berebut dan menginjak, serta pulang dengan kepuasan semu bahwa mereka telah pula disertakan di dalam pesta. Di mana banalitas yang demikian ialah bentuk relevansi manusia dalam menyingkirkan rasa iba sekaligus melambungkan keniradaban. Bagi Zizek, masa depan mereka yang tidak mampu menyelaraskan rasio dan moral adalah membuat kebodohan paling ironis melalui ketumpulan moral yang terlembaga dalam masyarakat hingga mengakar di sistem sosial-kebudayaan.

Bagikan artikel ini
Diterbitkan pada Kamis, 10 Oktober 2019
Topik
Sosial
Semua topik

Diskusi

Loading...
Bantu kami melaluidonasi di SociaBuzz
Artikel Terkait
Jean Baudrillard
Refleksi
Detoksifikasi digital sebagai upaya melawan realitas semu
Dion Faisol Romadhon0

Hidup di era disrupsi mengharuskan setiap insan terus mengikuti peredaran informasi terbaru. Mudahnya akses informasi tidak selalu positif.

Kapitalisme Postmodern
Kajian Tokoh
Wacana Arogansi Kapitalisme Postmodernitas
Iqbal Dimas Satrio0

“I consumed that’s i am” yang mengartikan eksistensi seseorang berada di dalam lingkup konsumsi. Seseorang dikenal atau disimbolkan dengan konsumsi.

Herbert Marcuse
Refleksi
Nestapa dan tirani modernisasi
Muh Abdillah Akbar0

Modernitas menghantar manusia sampai keadaan ideal secara taktis, di sisi lain manusia modern jatuh dalam keadaan yang represif.

Otto von Bismarck karya Emil Hunter
Kajian Tokoh
Kritik untuk Ilusi Kebenaran Massa
Ralip Sakur0

Nietzsche berpendapat, jika manusia terus-terus saja menjadi “budak” bagi dirinya, maka kita akan melahirkan banyak sekali kegelisahan yang berkepanjangan.

Jean Baudrillard
Refleksi
Transisi menuju Masyarakat Konsumeris
Arkan Labib Afkari0

Konsumerisme dapat mengubah seorang pemalas menjadi pekerja keras karena dorongan konsumsi untuk mendapatkan legitimasi sosial

Ilustrasi dari buku Happycratie
Ulasan
Happycratie dan tirani kebahagiaan
Ester Lianawati0

Mengakui emosi-emosi negatif dan mengalaminya akan mengantarkan kita menjadi bagian dari masyarakat yang tidak egois, yang bertanggung jawab untuk bersama-sama menciptakan masyarakat yang lebih adil dan solider.