Discourse
KolaseKegiatanTentang Kami
  • Beranda
  • Refleksi
  • Kajian Tokoh
  • Pranala
  • Ulasan
  • Terjemahan
  • Warta
  • Kolase
  • Kegiatan
  • Tentang Kami
DISCOURSE
ArtikelKontakKontribusi EsaiTokoDonasiVideoSyarat dan KetentuanKebijakan Privasi
© 2017-2025 LSF Discourse
Pranala

Gua Platon

0

Alegori ini menggambarkan kemampuan manusia menyerap indera dan pengolahannya dalam nalar.

Pranala Gua Plato
Pranala Gua Plato
Dika Sri Pandanari
Dika Sri Pandanari
Pendiri LSF Discourse. Pengajar di Universitas Bina Nusantara Malang.

Diterbitkan pada Senin, 26 November 2018
Topik
Metafisika
Semua topik
Bagikan artikel ini

Bantu kami untuk terus bertahan

Donasi

Dalam percakapan menyerupai monolog, Platon dan Glaucon mencoba mencari makna dari proses "menjadi" dan hubungan pengetahuan di dalam manusia. Epistemologi manusia dimajaskan Platon seperti komunitas manusia yang sejak dini tumbuh di dalam gua. Kehidupan mereka terasing dari cahaya dan hanya percaya pantulan dari luar gua. Sampai suatu saat, seorang dari mereka memberanikan diri keluar. Dengan mata tersakiti paparan sinar, perlahan ia menyesuaikan diri hingga mulai mampu melihat. Mengenal ranting pohon, bunga, dan hewan yang selama ini hanya diketahuinya lewat pantulan di dalam gua.

Alegori ini menggambarkan kemampuan manusia menyerap indera dan pengolahannya dalam nalar. Proses empirisme diafirmasi oleh Immanuel Kant, di mana pengalaman merupakan salah satu inisiator dalam memperoleh pengetahuan. Seperti manusia yang keluar gua, manusia "menjadi" adalah ia yang berjalan mencari asal-usul dari hal yang diketahui sebelumnya, baik lewat rasio murni, pengalaman, bahkan wahyu. Sementara dorongan manusia keluar dari kegelapan adalah yang menurut Platon merupakan pendakian jiwa menuju dunia intelektual. Dorongan yang muncul saat jiwa manusia merindukan ide akan sumber cahaya, melebihi keredupan yang meliputinya. Kebangkitan dalam alegori ini dapat terjadi hanya jika jiwa merasa diterangi dan ingin mencari sinar lebih.

Naas adalah saat manusia yang telah keluar gua memutuskan kembali ke dalam. Meski rela kembali terliput kegelapan demi berbagi pengetahuan yang diperolehnya di bawah sinar komunitas gua menolaknya. Mereka merendahkan dan menganiaya. Alegori ini nyata di akhir hidup Sokrates yang dieksekusi para Dikas, sebagaimana para ilmuwan masa Aufklarung seperti Galileo Galilei dan Johannes Kepler menerima persekusi gereja. Manusia membutuhkan pencerahan tapi lebih kerap gagal melihat cahaya itu sendiri. Kegelapan membius manusia untuk beristirahat dalam ketidaktahuan, sebuah indikasi bahwa manusia memiliki potensi ganda: merindukan pencerahan, tapi lebih bertindak instingtif dan nyaman dalam gelombang keterasingan.

Bagikan artikel ini
Diterbitkan pada Senin, 26 November 2018
Topik
Metafisika
Semua topik

Diskusi

Loading...
Bantu kami melaluidonasi di SociaBuzz
Artikel Terkait
Ilustrasi manusia purba
Refleksi
Rehabilitasi Plato
Novan Gebbyano0

Plato adalah sosok penting di dalam filsafat barat. Ada dua pemikir pra-sokratik yang mempengaruhi Plato yaitu Parmenides dan Democritus.

Hagia Sophia karya  Sevket Dag
Refleksi
Pengingkaran dan Pembelaan Wujud (Eksistensi) dalam Filsafat Islam
Ahmad Amin Sulaiman0

Predikasi atau penyematan wujud kepada sesuatu tidak otomatis memiliki kesamaan seperti konsep wujud itu sendiri.

Pranala Kekosongan Semesta
Pranala
Kekosongan Semesta
Dika Sri Pandanari0

Dualisme akan selalu diawali dan diakhiri dengan netralitas.

Islamic Astronomer karya incognito
Refleksi
Sanggahan Filsafat Islam atas Tesis Infinite Regression
Ahmad Amin Sulaiman0

Infinite regression menyebut bahwa realitas tidak memiliki ujung dan pangkal baik dalam permulaan maupun akhir.

Art Nouveau karya Edward Okun
Terjemahan
Gagasan Nietzsche tentang perulangan abadi
Mochammad Aldy Maulana Adha0

Kesanggupan Zarathustra untuk merangkul perulangan abadi adalah ekspresi tertinggi dari cintanya pada kehidupan dan keinginannya untuk tetap "setia pada bumi."

Martin Heidegger
Kajian Tokoh
Membaca ulang manusia bersama Descartes dan Heidegger
Krisna Putra Pratama0

Diri manusia menurut Descartes memiliki keluasan dalam ruang dan pikiran. Heidegger melihat diri manusia sekedar mengetahui Adanya.