Discourse
KolaseKegiatanTentang Kami
  • Beranda
  • Refleksi
  • Kajian Tokoh
  • Pranala
  • Ulasan
  • Terjemahan
  • Warta
  • Kolase
  • Kegiatan
  • Tentang Kami
DISCOURSE
ArtikelKontakKontribusi EsaiTokoDonasiVideoSyarat dan KetentuanKebijakan Privasi
© 2017-2025 LSF Discourse
Pranala

Intentio Operis

0

Teks memiliki keterarahan dalam dirinya sendiri selepas ia dilahirkan oleh penulis. Sebagaimana pandangan fenomenologi mengenai keterlemparan manusia dan historisitas, masa depan teks belum tentu sama dengan yang diharapkan oleh penulis maupun pembaca.

Hare
Dika Sri Pandanari
Dika Sri Pandanari
Pendiri LSF Discourse. Pengajar di Universitas Bina Nusantara Malang.

Diterbitkan pada Senin, 30 Maret 2020
Topik
Fenomenologi
Semua topik
Bagikan artikel ini

Bantu kami untuk terus bertahan

Donasi

Abad keduapuluh menjadi abad pembaharuan bagi filsafat barat semenjak Franz Brentano, Edmund Husserl, Martin Heidegger, serta jajaran filosof melahirkan studi fenomenologi di Jerman. Studi ini kemudian berpengaruh di Prancis hingga Fenomenologi mendasari perkembangan eksistensialisme modern yang dikembangkan oleh filosof modern seperti Henri Bergson, Leon Brunschvicg, Jean-Paul Sartre dan Albert Camus. Fenomenologi selanjutnya menumbuhkan pemahaman baru mengenai kesadaran subjektif yang merupakan keterarahan atau intensionalitas atas suatu hal. Fenomenologi juga berkembang dalam dunia filologi di mana dikenal konsep intensi penulis (intentio actoris) dan intensi pembaca (intentio lectoris) dalam seni penafsiran. Pada umumnya pencarian atas veritas (kejernihan) pengetahuan modern berakar dari perdebatan dua sudut pandang ini. Menanggapi dialog tersebut, Umberto Eco mengemukakan adanya kesalahan krusial yang justru kian memperbesar bara perdebatan keduanya, ialah bahwa kedua sudut pandang melupakan proposisi dari teks dalam dirinya sendiri. Eco menawarkan konsep ketiga yang menjelaskan terkandungnya intensi dari dan dalam teks atau yang disebut dengan intentio operis. Demikian Eco dalam Semesta Tafsir, ”Sejenak izinkan saya mengaburkan perbedaan antara teks-teks literer dan teks-teks biasa, juga perbedaan antara teks-teks sebagai citra dunia dan dunia alami sebagai sebuah Teks Agung untuk dipahami.” (2018). Melalui idenya, Eco menjelaskan bahwa teks memiliki kemungkinan penafsiran yang berbeda dari intensi penulis maupun pembaca.


Teks memiliki keterarahan dalam dirinya sendiri selepas ia dilahirkan oleh penulis. Sebagaimana pandangan fenomenologi mengenai keterlemparan manusia dan historisitas, masa depan teks belum tentu sama dengan yang diharapkan oleh penulis maupun pembaca. Baik penulis maupun pembaca memiliki dorongan serta kecenderungan yang mempengaruhi pilihan mereka menentukan arah dalam memahami teks. Diktum besar Mario Varga Llosa mengenai ‘kematian penulis begitu teks hadir di hadapan pembaca’ sudah menjadi pemahaman umum bagi otoritas penafsir teks. Kalimat ini menjadi sebuah evasi dan dalil yang memberi keleluasaan bagi milyaran pembaca untuk merentangkan imajinasi mereka. Pembaca memiliki keleluasaan dalam menggambarkan ulang teks yang telah mereka baca karena teks telah menjadi bagian dari pengalaman pembaca. Teks bagi pembaca merupakan satu dari sekian banyak pengalaman yang terangkai dalam historisitas dan memunculkan jejak-jejak pemikiran di dalam dirinya hingga membuat intensi penafsir mudah ditelusuri. Hal yang sama mempengaruhi kebebasan penulis dalam memilih intensi atas teks hingga muncul beragam bentuk literasi. Doctor Zhivago (karya Boris Pasternak), Lord of The Ring (katya J.R.R Tolkien), dan Animl Farm (karya George Orwell) merupakan contoh karya yang lahir dari intensi atas pengalaman ruang dan waktu sebagai historisitas penulis. Alice in Wonderland (karya Lewis Carol), Digital Fortress (karya Dan Brown), dan Baudolino (karya Eco) merupakan contoh karya yang lahir dari intensi penulis atas imaji dan perlambangan tanda-tanda. Serta Huis Clos (karya Jean-Paul Sartre), Candide (karya Voltaire) dan Bumi Manusia (karya Pramoedya Ananta Toer) merupakan karya yang lahir dari intensi penulis atas idealitasnya.


Selanjutnya Eco menjelaskan bahwa intensi teks mengemukakan hadirnya semesta tak terjamah yang membuat baik penulis maupun pembaca mampu memiliki kemampuan multitafsir. Eco memberi contoh intensi ini dalam pesona teks-teks suci agama serta kemegahan naskah-naskah ajaran Aristoteles atau Platon. Karena berbagai alasan seperti alih bahasa, keakraban dengan konteks, atau validitas penulis, membuat pembaca sulit untuk menentukan intensi penulis. Sementara intensi pembaca sendiri sebagai penafsir akan dengan mudah ditelusuri melalui pengalaman inderawi atau rohani. Melalui contoh di atas tampak bahwa kemungkinan penafsiran subjektif tidak hanya terbuka karena pengalaman penulis atau pembaca, melainkan juga karena susunan teks itu sendiri. Bahasa dalam teks mewakili makna yang nyata, persisten, unik, dan bahkan pra-eksisten. Bagi Eco, teks merupakan susunan yang penuh makna sekaligus juga hampa. Hal ini yang menyebabkan siapa pun yang berhadapan dengannya mampu mengarahkan intensinya. Intensi independen teks ibarat penciptaan ruang hampa udara yang memungkinkan cahaya apapun dapat memantul dengan bebas. Intensi dari dan dalam teks dengan kata lain ialah kausa yang memungkinkan teks menggerakkan intensi subjek penulis dan penafsir. Ibarat Alice yang melompat ke dalam lubang kelinci, teks yang telah terlahir akan melanjutkan perjalanannya sendiri. Alice dapat bertemu dengan siapa saja termasuk Ratu As atau Jabberwock di Wonderland, ia juga dapat bebas memilih untuk memutar jarum jam atau menolak tawaran minum teh dari Mad Hatters sebagaimana teks dapat bertemu, meresapkan, atau melepaskan diri dengan maksud penulis dan penafsirnya.

French Philosophy in the Twentieth Century, Gary Gutting, Cambridge University Press, United State, 2001.

Semesta Tafsir, Umberto Eco, IRCiSoD, Yogyakarta, 2018.

Teori Interpretasi, Paul Ricouer, IRCiSoD, Yogyakarta, 2014.

Bagikan artikel ini
Diterbitkan pada Senin, 30 Maret 2020
Topik
Fenomenologi
Semua topik

Diskusi

Loading...
Bantu kami melaluidonasi di SociaBuzz
Artikel Terkait
Refleksi
Quo Vadis Domine?
Silvester Yansen Perera0

Ketika kemanusiaan dijunjung tinggi, ketika keadilan mendapatkan tempatnya, ketika perbedaan justru mempersatukan kita, di sanalah Tuhan berada.

Martin Heidegger
Refleksi
Kemenjadian “Aku” dalam paradoks identitas
Reza Fauzi Nur Taufiq0

Seluruh konflik identitas itu sebenarnya bukan disebabkan oleh perbedaan identitas, sebab tidak satupun manusia bisa lepas dari identitas, yang utama adalah keberadaan diri kita, memahami diri kita, dan menegaskan misi otentisitas diri kita.

Emmanuel Levinas
Kajian Tokoh
Emmanuel Levinas: Hermeneutika dan Puasa
Arie Riandry0

Puasa dapat membentuk hubungan etis yang baik dengan sesama manusia dan Tuhan

Pranala Punik Berkepala Dua
Pranala
Punik Berkepala Dua
Dika Sri Pandanari0

Kisah rakyat Tiongkok ini membuktikan bahwa pengamatan fenomenologis dapat menjadi perangkat dalam memahami intisari dari suatu hal yang majemuk dan kompleks.

Refleksi
Subjek – Objek menurut Alfred Schutz dalam Relasi Aku dan Liyan
Ryan Ananda0

Dalam fenomenologi sosial, pengalaman dan keseharian yang merupakan aspek penting dalam fenomenologi nampak ditampilkan sebagai elemen-elemen utama pula dalam sosiologi – di samping sistem atau perilaku masyarakat.

Kajian Tokoh
Ketika Sartre Menyadap Ontologi
Rijal MS0

Kesadaran tidak diciptakan atau dimunculkan.